Saat
pertama kali mendengar suporter sepak bola Indonesia, apa yang ada di dalam
pikiranmu?
Kalau
boleh berpendapat, yang ada dalam pikiran saya pertama kali terkait suporter
sepak bola Indonesia adalah fanatik, loyal, sekaligus rusuh. Karena memang sampai
saat ini kerusuhan antar suporter di sepak bola Indonesia tak kunjung musnah.
Bahkan
setiap musim selalu ada kerusuhan besar yang melibatkan suporter klub sepak
bola di Indonesia. Tak hanya merusak fasilitas stadion atau melempari wasit dan
lawan dengan botol, mereka juga tak segan membunuh suporter lawan yang dianggap
sebagai rival.
sumberbola.com
Tentu
saja kita masih ingat bagaimana kematian tragis dari suporter Persija Jakarta,
Haringga Sirla, yang dikeroyok oleh puluhan pendukung Persib Bandung pada laga
lanjutan Liga 1 2018 yang lalu. Tak ada yang salah dari Haringga, dia hanya
berniat mendukung Persija yang kala itu tengah menjalani laga tandang di markas
Persib.
Namun
niat Haringga tak berjalan sesuai rencana, dia pun harus meregang nyawa dengan
tragis di lapangan parkir Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, dengan
tubuh yang bersimbah darah.
Itu
hanya segelintir kasus yang melibatkan suporter sepak bola Indonesia. Saya rasa
akan menjadi pembahasan yang panjang jika kita mengupas satu per satu kasus
yang melibatkan suporter sepak bola Indonesia.
Hal
yang sebenarnya sangat miris, mengingat suporter sepak bola di negara tetangga
sudah mulai berbenah dan berubah menjadi jauh lebih baik. Sementara suporter sepak
bola kita masih dibutakan oleh fanatisme dan loyalitas yang berlebihan.
Bahkan
sampai saat ini ada 4 kelompok suporter dengan basis terbesar di Indonesia yang
masih bertikai. Mereka adalah kelompok suporter The Jakmania (suporter Persija),
Bobotoh (suporter Persib), Aremania (suporter Arema FC), dan Bonekmania (suporter
Persebaya Surabaya).
Tapi
tahu gak, apa yang menyebabkan suporter sepak bola Indonesia seperti ini?
Hal
ini terjadi karena ada 4 hal keliru yang terjadi dan telah mendarah daging di
kalangan suporter sepak bola Indonesia. Disadari atau tidak, mungkin kamu juga
telah merasakannya.
Rivalitas yang Tertanam di Alam Bawah Sadar
Menurut
seorang pakar ilmu psikoanalisis yang bernama Dr. Sigmund Freud, dia
menjelaskan bahwa alam bawah sadar manusia memiliki kekuatan yang cukup besar.
Misalnya
saja ketika seorang anak sering menyaksikan permainan Lionel Messi, dia
cenderung akan memiliki tipikal permainan seperti pemain asal Argentina
tersebut. Mulai dari gayanya menggiring bola hingga selebrasinya.
Lantas
apa hubungannya alam bawah sadar dengan brutalnya suporter sepak bola Indonesia?
Jika
kamu pendukung Persib dan sering menyaksikan langsung pertandingan di stadion,
pasti kamu sudah tidak asing dengan nyanyian bernada rasis seperti: ‘The Jak
an*ing, dibunuh saja’.
Apabila
nyanyian itu kamu dengarkan secara terus menerus bahkan sejak berusia
anak-anak, secara tidak langsung nyanyian itu akan tertanam di alam bawah sadar
kamu.
Secara
tidak langsung alam bawah sadarmu pun mengatakan bahwa kamu harus membunuh
suporter Persija, meskipun pada awalnya nyanyian itu diciptakan hanya untuk
menjatuhkan mental pemain Persija.
tribunnews.com
Pada
kondisi normal sehari-hari, memang membunuh adalah perilaku yang melanggar
hukum negara dan norma. Akan tetapi ketika kamu berkumpul dengan ribuan
pendukung Persib di stadion dan kemudian menyanyikan nyanyian rasis tersebut,
secara refleks kamu pun ingin benar-benar melakukannya.
Hal
ini lah yang kemudian menjadi penyebab kematian dari Haringga.
Pria
yang tak bersalah itu pun harus meregang nyawa, karena menjadi korban
pengeroyokan suporter Persib, yang di alam bawah sadarnya sudah tertanam
keinginan untuk menghabisi setiap suporter Persija.
Mudah Menyamaratakan
Faktor
selanjutnya adalah mudahnya orang Indonesia menyamaratakan atau
menggeneralisasi berbagai hal.
Dalam
lingkungan sepak bola, kita pasti sering mendengar pernyataan bahwa setiap
orang Jawa Barat adalah Bobotoh. Hal ini jelas salah besar, karena tidak semua
orang Jawa Barat menyukai Persib, bahkan ada juga yang menyukai Persija.
Dalam
hal ini, seorang filsuf Jerman bernama Immanuel Kant, memisahkan pernyataan
menjadi dua bagian. Yang pertama adalah pernyataan secara analitik dan kemudian
pernyataan secara sintetik.
Paham
gak maksudnya?
Yang
dimaksud dengan pernyataan analitik adalah suatu pernyataan yang dibenarkan
secara definisi. Sebagai contohnya yaitu pernyataan yang mengatakan bahwa ‘Persib
adalah tim asal Jawa Barat’.
Ya,
meskipun mereka menggelar pertandingan di luar Jawa Barat atau bahkan di luar
Pulau Jawa, Persib akan tetap menjadi tim asal Jawa Barat, tepatnya Bandung.
Sementara
pernyataan sintetik adalah pernyataan yang tidak selalu benar, dan bahkan hanya
digunakan untuk penambahan informasi saja. Contohnya adalah pernyataan bahwa ‘Orang
Jawa Barat adalah pendukung Persib’.
persib.co.id
Padahal
tidak semua orang Jawa Barat itu suka Persib, meskipun mayoritas atau sebagian
besar dari mereka menyukainya. Namun karena mudahnya orang Indonesia
menyamaratakan, sehingga mereka selalu berpikiran bahwa orang Jawa Barat adalah
suporter Persib atau Bobotoh.
Hal
itu lah yang kemudian mendasari banyaknya pengrusakan kendaraan bermotor plat D
di Jakarta, terutama ketika berlangsungnya laga antara Persija melawan Persib
di ibu kota. Karena mereka memiliki pemikiran bahwa setiap orang yang
mengendarai kendaraan bermotor plat D adalah seorang Bobotoh.
Pembenaran yang Berkelompok
Kerusuhan
suporter pasti akan melibatkan banyak orang atau kelompok. Bahkan dalam kasus
pembunuhan Haringga, dia pun harus meregang nyawa di tangan banyak orang
setelah menjadi korban pengeroyokan yang brutal.
Karena
menurut Freud, seseorang akan dengan mudah melakukan kesalahan jika di
sekitarnya banyak orang yang melakukan kesalahan yang sama.
Karena
para pelanggar mengetahui bahwa dia tidak sendirian dalam melakukan kesalahan
tersebut. Inilah yang kemudian dinamakan pembenaran yang berkelompok, meskipun
apa yang mereka lakukan itu adalah hal yang salah.
Maka
dari itu, dalam sepak bola sangat jarang ada seorang suporter yang memasuki
lapangan dan kemudian berbuat onar seorang diri. Hampir semua kerusuhan
dilakukan oleh banyak suporter, bahkan jumlahnya bisa mencapai ribuan.
Tidak Bisa Membedakan Lawan dan Musuh
Pasti
kamu sudah tahu bahwa sepak bola itu adalah olahraga beregu. Setiap komponen
dalam sepak bola pasti akan saling membutuhkan satu sama lain, tidak bisa
mereka bekerja secara individu.
Filsuf
asal Perancis, Jean-Paul Sartre pernah mengatakan: “Di dalam sepakbola,
segalanya menjadi lebih rumit dengan hadirnya kesebelasan lawan”.
Apa
yang dia katakan oleh Sartre tak asal, namun ada makna dibaliknya. Dia lebih
memilih menggunakan kata ‘lawan’ di dalam sepak bola ketimbang kata ‘musuh’.
Karena
memang arti kata lawan dan musuh itu sudah berbeda. Sebagai lawan kita harus saling
berkompetisi, bukan saling memusnahkan layaknya musuh.
Sementara
dalam sepak bola, ‘lawan’ adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi demi berlangsungnya
sebuah pertandingan. Bisa dibayangkan jika lawan harus dimusnahkan, maka
pertandingan pun tak akan bisa berlangsung.
Nah,
jika pendukung Bobotoh ingin memusnahkan (membunuh) suporter Persija, apakah Persib
akan berjaya selamanya dan selalu menjadi juara di setiap kompetisi?
Tanpa
adanya Persija dan pendukungnya, mungkin saja Persib tak akan terlihat
sempurna. Atau bahkan mungkin jika tak ada Persija sebagai lawan mereka, Persib
tak akan pernah ada di orbit sepak bola Indonesia.
Kesimpulan
Sampai
saat ini masih terjadi banyak kerusuhan antar suporter sepak bola di Indonesia.
Tak hanya melakukan pengrusakan dan pelemparan botol, bahkan mereka juga
melakukan pengeroyokan yang sangat keji hingga menghilangkan nyawa seseorang
yang tak berdosa.
Hal
ini terjadi karena ada empat hal keliru yang telah mendarah daging di kalangan
suporter Indonesia. Keempat hal itu adalah rivalitas yang sudah tertanam di
alam bawah sadar, mudah menyamaratakan, pembenaran yang berkelompok, dan tak
bisa membedakan mana lawan atau pun musuh.
Para
suporter sepak bola Indonesia harus menghilangkan keempat hal tersebut, agar
tercipta kompetisi yang lebih baik dan tak lagi terjadi kerusuhan hingga
pembunuhan suporter.
jawapos.com
Artikel
ini saya tulis karena memang saya terus mengikuti perkembangan sepak bola
Indonesia, yang kian hari semakin carut marut. Secara pribadi, saya juga cukup geram
dengan tingkah laku suporter Indonesia, yang di mana kelakukan mereka bisa
mencoreng nama Indonesia di mata dunia.
Dengan
ditulisnya artikel ini, saya pun berharap kerusuhan dan pembunuhan suporter
sepak bola Indonesia tak lagi terjadi di kemudian hari. Karena sepak bola seharusnya
menjadi olahraga yang ramah dan bersahabat untuk siapa saja.