PSSI adalah organisasi tertinggi sepak Indonesia, yang didirikan oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondob pada 19 April 1930 yang lalu. Sebagaimana yang diusulkan oleh Pak Soeratin, dulu PSSI menjadi salah satu wadah bagi masyarakat Indonesia untuk berjuang meraih kemerdekaan dari tangan penjajah kolonial Belanda.
Niat mulia itu pun membuat PSSI sangat dipuja dan dieluh-eluhkan kala itu. PSSI seakan menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia.
Namun apa yang terjadi saat ini? Hampir dua dekade terakhir PSSI terus dicaci dan dianggap sebagai federasi sampah oleh masyarakat Indonesia, terutama para pecinta sepak bola.
Korupsi, suap, jual beli jabatan, dan cacat moral lainnya seakan menjadi bumbu penyedap di setiap tahun perjalanan PSSI.
Sepak bola Indonesia semakin minim prestasi, kebrutalan suporter semakin mejadi-jadi, mafia sepak bola ada di mana-mana, dan semuanya itu jelas akibat dari kelalaian para pengurus PSSI. Mereka seakan lupa dengan tanggung jawabnya, yakni memajukan sepak bola Indonesia.
tagar.id
Padahal masyarakat Indonesia sudah lama bermimpi memiliki timnas yang hebat dan mampu berprestasi di kancah internasional.
Namun semua itu hanya harapan semu, tanpa tahu kapan kita akan memiliki Timnas Indonesia yang hebat, yang ditakuti oleh lawan-lawanya. Karena bagaimana bisa maju, sementara PSSI yang bertugas memajukan sepak bola Indonesia justru lebih disibukkan oleh urusan pribadi, terutama yang menyangkut masalah uang dan kekuasaan.
Jika ditarik ke belakang, bisa dibilang bahwa penurunan prestasi Timnas Indonesia mulai terjadi di awal tahun 2000’an, di mana kala itu PSSI dipimpin oleh Nurdin Halid, pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan. Nurdin sendiri mulai menjabat sebagai Ketua Umum PSSI sejak tahun 2003 hingga 2011.
Timnas Indonesia tak lagi berprestasi, seperti ketika PSSI dipimpin oleh orang hebat seperti Azwar Anas (1991-1999). Karena di bawah kendali Azwar, Timnas Indonesia mampu meraih banyak prestasi yang sangat membanggakan.
Ketika PSSI dipimpin oleh Azwar, Timnas Indonesia untuk pertama kalinya mampu lolos ke putaran final Piala Asia. Timnas Indonesia mampu berada di peringkat ke-76 dalam daftar ranking FIFA, dan tercatat sebagai peringkat terbaik dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Meskipun demikian, kepemimpinan Azwar di PSSI juga bukan berarti tanpa kecaman. Bahkan kecaman semakin terdengar nyaring di telinga PSSI setelah adanya praktik ‘sepak bola gajah’ yang dilakukan oleh Mursyid Effendi di Piala Tiger (sekarang Piala AFF) 1998 yang lalu.
Dengan berjiwa ksatria, Azwar memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Hal itu dia lakukan sebagai bentuk pertanggungjawabannya.
Sepeninggal Azwar, PSSI kemudian dipimpin oleh Agum Gumelar (1999 sampai 2003), yang dikenal sebagai simpatisan PDI Perjuangan. Di bawah kepemimpinan Agum ini lah awal mula dibalik miskinnya prestasi Timnas Indonesia di kancah internasional.
Prestasi terbaik Timnas Indonesia di era Agum hanyalah dua kali runner-up di Piala Tiger.
Sadar dirinya gagal memajukan sepak bola Indonesia, Agum pun menolak untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI di periode berikutnya. Hal yang sangat jauh berbeda dari Ketua Umum PSSI di era milenial yang haus akan jabatan.
Setelah masa jabatan Agum berakhir, PSSI kemudian dimpin oleh Nurdin Halid. Dan di era ini lah, PSSI mulai dibenci oleh masyarakat Indonesia dan bahkan dianggap sebagai federasi sampah.
Tahu kan kamu dosa apa yang telah dilakukan oleh Nurdin?
Masalah Mengantre di Era Nurdin Halid
tribunnews.com
Di era kepemimpinan Nurdin, PSSI jauh dari kesan positif. Karena masalah mengantre di era kepemimpinan Nurdin, yang sebelumnya menjabat sebagai anggota DPR-RI dari fraksi Partai ‘kuning’ Golkar.
Di era Nurdin ini lah, PSSI juga dikenal sebagai ‘organisasi kuning’. Karena memang Nurdin sering mencampurkan PSSI dengan urusan politik, hal yang sebenarnya sangat tabu untuk dilakukan.
Dalam suatu kesempatan, Nurdin sempat mengatakan bahwa PSSI tidak boleh dipolitisi. Namun dia justru mengatakan hal itu di depan para kader Partai Golkar.
Bagaimana, aneh kan?
merdeka.com
“Partai Golkar adalah partai karya, oleh sebab itu setiap kader Golkar harus memberi kontribusi terbaik bagi tanah air di manapun mereka berada, termasuk saya sebagai kader Golkar berbuat untuk PSSI,” kata Nurdin pada tahun 2010 yang lalu, dilansir dari Tempo Interaktif.
Jelas saja hal ini membuat Nurdin mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak dan PSSI semakin dibenci oleh masyarakat. Terlebih selama 7 tahun kepemimpinannya, Nurdin juga lebih disibukkan oleh kasus korupsi yang menjeratnya.
Setidaknya ada 3 kasus korupsi yang membuatnya menjadi tersangka, dan harus mendekam di balik jeruji besi. Namun tanpa punya rasa malu, Nurdin enggan melepas jabatannya dan tetap memimpin PSSI dari balik jeruji besi.
Ketika sudah terbebas dengan mendapat banyak remisi, Nurdin kemudian tetap mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
Kok gak punya malu ya?
Namun beruntung, Nurdin kalah dari Djohar Arifin Husin, yang kemudian diangkat menjadi Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
Konflik Djohar Arifin dengan La Nyalla Mattalitti, dan PSSI Terjadi Dualisme
antarafoto.com
Terpilihnya Djohar sebagai Ketua Umum PSSI tak membuat organisasi yang satu ini terbebas dari masalah. Justru masalah lebih besar terjadi di era kepemimpinan Djohar.
Karena mayoritas anggota PSSI tidak mengakui terpilihnya Djohar sebagai Ketua Umum PSSI. Mereka yang tak mengakui Djohar harus terdepak dari keanggotaan Komite Eksekutif PSSI, dan kemudian mendirikan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI), yang bisa dibilang sebagai tandingan PSSI.
KPSI sendiri dipimpin oleh Tony Apriliani dan La Nyalla Mattalitti, yang kemudian disebut sebagai pengkhianat. Karena ketika memimpin KPSI, mereka sebenarnya masih menjadi anggota Komite Eksekutif PSSI.
Saat membentuk KPSI, La Nyalla sebenarnya menyadari bahwa PSSI bisa saja mendapat sanksi pembekuan dari FIFA. Namun dia tak mempermasalahkan hal itu, dan bahkan memang tujuannya mendirikan KPSI adalah untuk membekukan PSSI pimpinan Djohar.
“Kami siap menerima sanksi dari FIFA. Karena kalau hasilnya nanti disanksi, yang kena sanksi itu kan PSSI-nya Djohar Arifin, bukan saya,”
“Oleh karena itu, PSSI hasil KLB akan tetap berjalan. Kita tidak mau ditunda, apa pun hasilnya,”
“FIFA harus tegas dan mengambil keputusan secepatnya. Apabila nanti hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kami, maka kami akan melakukan gugatan kepada CAS,” kata La Nyalla dilansir Detik Sport.
liputan6.com
Selain dualisme federasi, saat itu juga terjadi dualisme kompetisi, yakni ISL dan LPI. Di mana ISL dikuasai oleh orang-orang KPSI, dan IPL dikuasai oleh orang-orang dari PSSI versi Djohar.
KPSI dan PSSI pun sama-sama membuat Timans Indonesia versi mereka. KPSI membuat Timnas Indonesia dengan menunjuk Alfred Riedl sebagai pelatih, dan PSSI membuat Timnas Indonesia dengan menunjuk Nil Maizar sebagai pelatih.
Saat gelaran Piala AFF 2012, Timnas Indonesia versi PSSI lah yang kemudian bertanding. Namun saat itu Timnas Indonesia tidak diperkuat oleh para pemain terbaiknya, karena KPSI melarang para pemain ISL membela tim Garuda.
Di era itu lah, kemudian muncul para pemain naturalisasi dadakan seperti Tonnie Cussell, Raphael Maitimo, hingga Jhon van Beukering.
Situasi pelik ini terjadi hingga tahun 2013, dan masyarakat pun semakin membenci PSSI. Bagaimana, menjengkelkan bukan?
Setelah konflik berakhir, orang-orang KPSI kembali ke pangkuan PSSI. Kemudian La Nyalla menjabat sebagai Ketua Umum PSSI.
La Nyalla Mattalittil, PSSI Dibekukan FIFA dan Timnas Indonesia Tak Bisa Bertanding
tempo.com
Tak berselang lama dari terpilihnya La Nyalla sebagai Ketua Umum PSSI, kali ini giliran Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi yang tak mengakui PSSI. Selain itu, dia juga mempermasalahkan tunggakan gaji pemain yang semakin marak, dan masalah legalitas Arema Cronus serta Persebaya Surabaya.
Politisi Partai Demokrat itu pun kemudian membekukan PSSI, yang berujung pada sanksi FIFA. Karena mereka menganggap pemerintah telah ikut campur terhadap federasi sepak bola Indonesia.
Sanksi itu membuat Timnas Indonesia tak bisa berlaga di kancah internasional, termasuk mengikuti babak kualifikasi Piala Dunia 2018.
Kepemimpinan La Nyalla ternyata juga tak lepas dari skandal korupsi. Karena kemudian La Nyalla ditetapkan sebagai tersangka pencucian uang ketika menjabat sebagai Kepala Kadin Jawa Timur pada 2011-2014 silam.
Kasus ini membuat La Nyalla mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PSSI.
Kasus Demi Kasus Masih Belum Berhenti di Era Edy Rahmayadi
tirto.com
Berakhirnya era La Nyalla tak membuat PSSI lebih baik. Bahkan sudah banyak keanehan yang terjadi tak lama setelah FIFA mencabut sanksi untuk Indonesia.
Keanehan muncul pada Kongres PSSI 2017, di mana Djohar yang kembali mengajukan diri sebagai calon Ketua Umum PSSI justru diusir keluar kongres.
Dalam bursa calon Ketua Umum PSSI, masyarakat Indonesia sempat menaruh harapan besar pada legenda Timnas Indonesia, Kurniawan Dwi Yulianto, yang maju sebagai kandidat. Namun sayang, hasil voting tak memihak kepadanya, di mana Kurniawan tak mendapatkan satu suara pun.
Suara hanya terbagi kepada tiga calon, yakni Edy Rahmayadi, Moeldoko, dan Eddy Rumpoko. Edy berhasil menang telak dengan mengumpulkan 76 dari total 107 suara.
Di era Edy, PSSI kembali diisi oleh muka-muka lama yang masih belum sepenuhnya bersih dari dosa masa lalu, dan dualisme jabatan pun masih terjadi.
Tak hanya itu, saat kompetisi berjalan, banyak hukuman aneh dan sering terjadi perubahan regulasi secara tiba-tiba. Edy juga memilih untuk cuti dari jabatannya untuk maju sebagai calon Gubernur Sumatera Utara pada pilkada 2018.
bola.com
Di bawah era Edy Rahmayadi, orang-orang PSSI juga banyak yang tersandung kasus pengaturan skor. Seperti halnya Johar Lin Eng dan juga Dwi Irianto alias Mbah Putih.
PSSI yang benar-benar memalukan!
Bagaimana, apakah masih ada lagi dosa yang dilakukan oleh PSSI?
Kesimpulan
Pada awal berdirinya, PSSI menjadi salah satu sarana bagi masyarakat Indonesia untuk berjuang mengusir penjajah. Niat baik itu lah yang membuat PSSI sangat disegani kala itu.
PSSI mencapai puncak kejayaannya di tangan Azwar Anas, yang menjabat sebagai Ketua Umum pada periode 1991-1999. Banyak prestasi membanggakan yang diraih oleh Timnas Indonesia.
Awal penurunan prestasi Timnas Indonesia terjadi di era Agum Gumelar yang menjabat sebagai Ketua Umum pada periode 1999-2003. Usai gagal memimpin PSSI, Agum menolak kembali mengajukan diri sebagai Ketua Umum dan kursi itu pun kemudian diambil alih oleh Nurdin Halid.
PSSI semakin bobrok di bawah kepemimpinan Nurdin, yang lebih banyak tersandung kasus korupsi. Bahkan Nurdin sempat memimpin PSSI dari balik jeruji penjara, yang membuat masyarakat sepak bola Indonesia semakin membenci PSSI.
sidomi.com
Kondisi tak kunjung berubah di era Djohar Arifin Husin. Bahkan di bawah kepemimpinannya PSSI terjadi dualisme, begitu juga dengan Timnas Indonesia.
Bukannya prestasi yang didapat, cacian dan hinaan dari masyarakat yang justru semakin mengalir deras ke PSSI.
Di era La Nyalla Mattalitti juga semakin parah, bahkan di bawah kepemimpinannya PSSI harus dibekukan oleh FIFA, yang membuat Timnas Indonesia tak bisa berlaga di kancah internasional. Hal itu terjadi karena pemerintah dianggap ikut campur urusan federasi.
Kemudian di era Edy Rahmayadi juga demikian, PSSI tak pernah menjadi lebih baik. Bahkan di bawah kepemimpinannya banyak anggota PSSI yang terlibat skandal pengaturan skor.
Artikel ini saya buat karena memang saya adalah pecinta sepak bola Indonesia. Saya juga merasa jengkel dengan kinerja orang-orang di PSSI, yang sama sekali tak menunjukkan niat untuk memajukan sepak bola Indonesia.
Mereka haus akan uang dan kekuasaan, dan mereka melalaikan tugasnya untuk memajukan sepak bola Indonesia. Semoga ke depannya PSSI bisa menjadi lebih baik, dan mengantarkan Timnas Indonesia lebih berprestasi.