Sampai
saat ini prestasi sepak bola Indonesia tak kunjung membaik. Justru bisa
dibilang kini sepak bola Indonesia semakin busuk, terutama setelah
terbongkarnya praktik pengaturan skor yang ternyata sudah lama terjadi, dan secara
perlahan-lahan merusak sepak bola Indonesia.
Prestasi Indonesia di kancah internasional tentunya tak sebanding dengan fanatisme dan loyalitas yang ditunjukkan oleh pendukung Timnas Indonesia. Mereka rela meluangkan waktu dan tenaganya hanya untuk mendukung Timnas Indonesia, melihat Tim Garuda berjaya di laga internasional.
Meskipun
dukungan terus mengalir, namun sampai saat ini tidak ada prestasi yang mampu
dibanggakan dari Timnas Indonesia. Paling mentok adalah keberhasilan para
pemain Timnas Indonesia di kelompok umur juara Piala AFF.
Nah,
untuk mengakali hal tersebut, PSSI menerapkan kebijakan untuk menaturalisasi
pemain asing. Dengan adanya naturalisasi, maka Timnas Indonesia akan memiliki
pemain lokal dengan kualitas impor di dalam skuatnya.
Keberadaan
para pemain naturalisasi di dalam skuat Timnas Indonesia juga membawa perubahan
yang cukup signifikan. Tidak hanya itu, keberadaan pemain naturalisasi juga
akan menguntungkan klub.
bola.com
Tahu
kenapa alasannya? Karena mereka bisa memiliki pemain lokal rasa impor jika
berhasil merekrut para pemain naturalisasi.
Oleh
sebab itu, kini pemain naturalisasi mulai banyak mewarnai sepak bola Indonesia.
Pada Liga 1 2018 yang lalu, setidaknya ada lima pemain asing yang berhasil
mendapatkan paspor Indonesia melalui jalur naturalisasi.
Kondisi
yang sama nampaknya akan kembali terjadi pada musim 2019 kali ini. Karena saat
artikel ini ditulis, bek kawakan Madura United asal brasil, Fabiano Beltrame
disebut akan segera memperoleh status sebagai warga negara Indonesia atau WNI.
Sementara
itu, bek Persebaya Surabaya asal Brasil, Otavio Dutra yang telah dinaturalisasi
terlebih dahulu juga telah dipastikan menjadi bagian dari Timnas Indonesia yang
akan menjalani laga internasional pada bulan Maret ini.
Gelandang
PSM Makassar asal Belanda, Marck Klok, kini dia juga mengakui bahwa proses
naturalisasinya akan segera selesai. Selain ketiga pemain tersebut, ada juga
tiga pemain asing lainnya yang tengah mengurus proses administrasi untuk keperluan
naturalisasi.
Ketiga
pemain itu adalah Yoo Jae-hoon, Yoo Hyun-koo, dan Silvio Escobar. Jika mereka
benar-benar dinaturalisasi, bisa dipastikan bahwa sepak bola Indonesia akan
semaki banyak diwarnai oleh pemain asing berpaspor Indonesia.
Namun
apakah itu akan menguntungkan bagi sepak bola Indonesia? Awalnya saya pun
mengira demikian.
Tapi asalkan kalian tahu, naturalisasi justru hanya akan merusak sepak bola
Indonesia. Naturalisasi hanyalah solusi jangka pendek atas macetnya prestasi
Timnas Indonesia, namun tidak untuk jangka panjang.
Dulu, Naturalisais Dilakukan Karena
Indonesia Kekurangan Striker Berkelas
Gelombang
naturalisasi dimulai pada tahun 2010 yang lalu. Kala itu PSSI membantu striker
asal uruguay, Cristian Gonzales untuk mendapatkan paspor Indonesia.
Gonzales
dinilai sebagai pemain yang pas untuk menjawab mandulnya lini depan Timnas
Indonesia. Karena banyak yang mengatakan bahwa keringnya prestasi Indonesia di
kancah internasional tak lepas dari buruknya kualitas para striker lokal.
Oleh
sebab itu, Gonzales dinaturalisasi dan dimainkan di Piala AFF 2010. Namun apa, Indonesia
juga gagal di Piala AFF 2010.
Tahu
kan kamu, apa prestasi Indonesia pada Piala AFF 2010?
Setelah
Gonzales, PSSI masih tak pernah puas untuk menaturalisasi striker asing.
Setidaknya
ada enam striker asing yang menyusul Gonzales untuk mendapatkan pasor
Indonesia. Mereka adalah Greg Nwokolo, Jhon van Beukeuring, Beto Goncalves, Ilija
Spasojevic, Sergio van Dijk, dan Ezra Walian.
Namun
apa hasilnya? Timnas Indonesia juga tak kunjung berprestasi di kancah
internasional.
Striker
lokal rasa impor sudah melimpah, lantas apa yang kurang dengan Timnas
Indonesia?
Sekarang Indonesia Miskin Bek Tengah
Berkualitas
jawapos.com
Pemain
naturalisasi memang menjadi solusi jangka pendek.
Timnas
Jepang, yang kini disebut sebagai raja Asia, mereka juga pernah menaturalisasi
pemain asing asal Brasil, Ruy Ramos pada tahun 1989. Kala itu Jepang terpaksa
menaturalisasi Ramos, karena sepak bola mereka masih minim prestasi.
Pun
demikian dengan Singapura dan Filipina, yang menaturalisasi pemain demi meraih
mimpi untuk berjaya di Piala AFF. Singapura kemudian berhasil meraih 4 kali
gelar juara Piala AFF.
Akan tetapi tidak selamanya naturalisasi pemain asing akan menguntungkan Timnas Indonesia, terlebih membawa Indonesia lebih berprestasi di kancah internasional.
Lihat saja, bagaimana banyaknya striker naturalisasi yang pernah menghiasi lini depan Timnas Indonesia. Namun tak ada satu pun yang berhasil mempersembahkan gelar juara untuk Tim Garuda.
Kini,
Timnas Indonesia mulai mengalihkan perhatiannya pada sektor bek tengah.
Kabar
dinaturalisasinya Fabiano dan Dutra jelas akan menjadi mimpi buruk bagi para
bek tengah lokal Indonesia. Terlebih masih ada barisan bek tengah naturalisasi
lainnya semacam Onorionde K. John, Mahamadou Alhadji, Bio Paulin, dan Victor
Igbonefo.
goal.com
Jelas,
kehadiran mereka di sepak bola Indonesia akan menghambat munculnya para bek
lokal berkualitas asli Indonesia. Karena klub-klub juga akan lebih memilih
untuk menggunakan jasa pemain naturalisasi, di mana mereka bisa menggunakan
pemain lokal rasa impor.
Memang
itu suatu keuntungan sendiri untuk klub. Namun tidak untuk sepak bola Indonesia
di masa depan.
Lihat
saja, saat ini Timnas Indonesia kekurangan bek tengah yang berkualitas. Hampir
di setiap turnamen besar, pelatih Timnas Indonesia selalu mengandalkan duet Hansamu
Yama dan Fachrudin Ariyanto.
Memang
Hansamu kini masih berada di usia matang, namun tidak dengan Fachrudin. Karena
kini bek milik Madura United itu sudah berusia 30 tahun.
Minimnya bek tengah lokal yang berkualitas itu lah yang mendasari pelatih Timnas Indonesia, Simon McMenemy memanggil Dutra untuk memperkuat Tim Garuda.
Karena
di skuat tim juara Liga 1 2018, Persija Jakarta, mereka saja mengandalkan Maman
Abdurahman, yang kini sudah berusia 36 tahun. Untuk PSM Makassar, kini mereka
mengandalkan Abdul Rahman yang sudah berusia 30 tahun untuk menjaga lini
pertahanan.
Begitu
juga dengan Arema FC, yang masih mengandalkan Hamka Hamzah, kendati usianya
sudah berada di angka 35 tahun. Di Persipura Jayapura, mereka mengandalkan
pemain gaek berusia 35 tahun, Ricardo Salampessy untuk bermain di bek tengah.
Memang
benar, Indonesia masih memiliki bek tengah berusia muda seperti Andy Setyo,
Nurhidayat, Rifad Marasebessy, Rachmat Irianto, atau Indra Mustafa, yang
bermain untuk Timnas Indonesia U-22 dan U-19.
afp.com
Namun
tetap saja, pemain muda yang berkualitas tidak akan berkembang secara maksimal
jika mereka hanya bersaing di kelompok umur. Mereka tetap membutuhkan jam
terbang di kompetisi untuk terus mengasah kemampuan mereka di setiap pekannya.
Akan
tetapi bagaimana mereka bisa berkembang, jika klub-klub peserta Liga 1 lebih
memilih untuk menggunakan jasa pemain asing atau bahkan pemain naturalisasi.
Lagi
pula, bermain hebat di kelompok umur juga tak menjamin mereka akan menjadi
pemain bintang di masa depan. Lihat saja nama-nama seperti Dimas Drajad, Febly
Gushendra, Muchlis Hadi, hingga Dimas Sumantri, yang tenggelam usai
mengantarkan Timnas Indonesia U-19 juara Piala AFF U-19 2013 yang lalu.
Banyak Pemain Asing yang
Dinaturalisasi untuk Kepentingan Klub
Padahal
sebelumnya naturalisasi pemain dilakukan untuk mengangkat prestasi Timnas
Indonesia.
Namun hal itu sudah mulai bergeser, karena kini banyak pemain asing yang dinaturalisasi hanya untuk kepentingan klub, bukan untuk negara atau Timnas Indonesia. Sudah banyak contohnya, lihat saja bagaimana Diego Michiels, Esteban Vizcarra, Kim Kurniawan, Tonnie Cussel, atau Sergio Van Dijk, yang minim caps bersama Timnas Indonesia setelah dinaturalisasi.
Jelas, bahwa minimnya caps mereka bersama Timnas Indonesia menunjukkan bahwa memang jasanya tidak terlalu dibutuhkan oleh timnas. Mereka dinaturalisasi hanya untuk kepentingan klub.
Karena
dengan demikian, maka klub-klub tempat mereka bermain bisa menambah kuota
pemain asing. Mereka tak lagi memusingkan regulasi penggunaan pemain asing di
Liga 1, yang di musim lalu menggunakan aturan 3 pemain asing berpaspor bebas
dan 1 pemain asing berpaspor Asia.
Dengan
merekrut pemain naturalisasi, berarti klub Liga 1 bisa menggunakan jasa pemain berkualitas
impor tanpa harus mengurangi kuota pemain asing.
Jika
itu terjadi, jelas saja para pemain lokal Indonesia akan kesulitan untuk
berkembang. Kompetisi pun tak lagi bermuara kepada Timnas Indonesia.
antarafoto.com
Padahal
sejatinya kompetisi dijalankan untuk mengasah kemampuan para pemain lokal agar
siap bersaing di kancah internasional ketika membela Timnas Indonesia.
Nah,
untuk mencegah hal-hal itu terjadi, setidaknya ada 2 hal yang bisa dilakukan.
Pertama,
klub-klub peserta kompetisi jangan terlalu ambisius untuk memenangkan
kompetisi, sehingga mereka melupakan pembinaan dan memilih cara instan untuk
merekrut pemain asing. Karena keberhasilan suatu klub tidak harus ditentukan
dengan sebuah gelar juara.
Lihat
saja bagaimana Southampton, Athletic Bilbao, dan Borussia Dortmund, yang di
mana mereka tetap memiliki suporter loyal yang fanatik meskipun tidak selalu
juara.
Cara
selanjutnya adalah operator kompetisi membuat peraturan yang memperketat
penggunaan pemain naturalisasi dan pemain asing.
Kesimpulan
Sampai
saat ini prestasi Timnas Indonesia tak ada yang bisa dibanggakan, kecuali
prestasi di kelompok umur. Untuk meredakan dahaga akan keringnya prestasi, PSSI
pun menerapkan kebijakan naturalisasi sejak tahun 2010 yang lalu.
Awalnya
PSSI menaturalisasi Cristian Gonzales, karena dianggap sebagai jawaban yang pas
atas mandulnya lini depan Timnas Indonesia. Namun usai menaturalisasi Gonzales,
dan diikuti oleh striker-striker asing lainnya, prestasi Indonesia tak kunjung
membaik.
Kini
gelombang naturalisasi pun berpindah ke posisi bek tengah. Banyak pemain asing
di posisi bek tengah yang kini mulai mendapatkan pasor Indonesia, seperti
halnya Otavio Dutra, Mahamadou Alhadji, Bio Paulin, hingga Victor Igbonefo.
Namun
keberadaan para pemain naturalisasi bukan malah menguntungkan Indonesia. Hal
itu justru akan semakin merusak sepak bola Indonesia, terlebih klub-klub
peserta kompetisi juga memiliki kecenderungan untuk memilih pemain naturalisasi
demi mengangkat prestasi tim.
bola.net
Dengan
demikian, kesempatan bermain yang diberikan kepada para pemain lokal untuk
menunjukkan kemampuan terbaiknya pun semakin terbatas. Sebagus apa pun pemain,
dia tidak akan berkembang jika tidak mendapat banyak kesempatan bermain.
Untuk
mengatasi hal itu, setidaknya ada 2 hal yang bisa dilakukan.
Pertama,
klub-klub jangan terlalu berambisi untuk menjadi juara kompetisi, sehingga
menghalalkan segala cara dan mengabaikan pemain lokal. Selanjutnya, operator
kompetisi bisa membuat kebijakan yang pada intinya membatasi penggunaan pemain
asing dan pemain naturalisasi.
Artikel
ini saya tulis berdasarkan kecintaan saya terhadap sepak bola Indonesia. Karena
saya juga ingin melihat Timnas Indonesia senior bisa berprestasi di kancah
internasional.
Sementara
itu, saya memang sejak awal tidak setuju dengan penggunaan pemain naturalisasi
di tubuh Timnas Indonesia. Karena seperti yang telah disebutkan pada artikel di
atas, naturalisasi pemain hanya solusi jangka pendek, dan akan merusak sepak
bola Indonesia di masa depan.